Kamis, 25 Oktober 2012

MIKROORGANISME DALAM SUSU


Mikroorganisme adalah sebuah organisme kehidupan yang terlalu kecil untuk dilihat dengan mata telanjang. Ukuran yang digunakan untuk mikroorganisme adalah mikrometer (µ m); 1 µ m = 0.001 milimeter; 1 nanometer (nm) = 0.001 µ m.
Mikroorganisme dapat dibagi menjadi beberapa kelas, diantaranya adalah bakteri, fungi dan virus.
Susu, ketika di sekresi di dalam ambing ternak berada dalam keadaan yang steril. Namun ketika dalam perjalanan dari ambing menuju puting, bahkan sebelum susu keluar dari puting, susu sudah terkontaminasi oleh sedikit bakteri yang tinggal di dalam puting (apalagi jika puting tersebut kurang diperhatikan kebersihannya).
Walaupun demikian kontaminasi pada tahap ini boleh dibilang sangat sedikit dan masih terbilang aman, terkecuali apabila sapi menderita penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti Mastitis.
Oleh sebab itu, mikroorganisme dan kontaminasinya memiliki peran yang sangat penting dalam proses pembuatan dan pengolahan susu.

Pertumbuhan Mikroorganisme
Ada beberapa faktor yang berhubungan dengan daya hidup dan pertumbuhan dari mikroorganisme pada sebuah bahan makanan (faktor intrinsik), diantaranya adalah:
1. kandungan nutrisi
2. kandungan air
3. derajat keasaman (pH)
4. kandungan oksigen
5. struktur biologi
6. kandungan antimikrobial

Sedangkan faktor ekstrinsik yang berpengaruh terutama yang berkaitan dengan lingkungan tempat bahan makanan tersebut disimpan, yaitu :
1.      Suhu
2.      Kelembaban relative
3.      Kandungan gas yang ada disekitar bahan makanan.
Dalam sebuah kelompok, mikroorganisme dapat tumbuh pada kisaran temperatur yang cukup luas. Namun jumlah dan jenisnya sangat berkaitan dengan suhu lingkungan dimana dia berada. Secara umum, menurut suhu, mikroorganisme dapat dibedakan menjadi 4 jenis utama:
·         Mikroorganisme Psycrophillic (tumbuh optimum pada suhu antara 20 to 30°C)
·         Mikroorganisme Mesophillic (tumbuh optimum pada suhu 30 to 40°C)
·         Mikroorganisme Thermophillic (tumbuh optimum pada suhu 55 and 65° C.
·         Mikroorganisme Hyperthermophillic(yang hidup dengan baik pada suhu sangat tinggi sampai 110 ° C, bahkan dalam percobaan, ada yang tahan pada suhu 130° C selama 2 jam).
Mikroorganisme dalam Susu
Seperti telah disinggung diatas, susu berada dalam kondisi steril ketika di sekresi di dalam ambing, namun dalam perjalanan menuju puting, susu dapat terkontaminasi berbagai macam mikroorganisme. Apa saja mikroorganisme tersebut ?
Bakteri Asam Laktat (BAL), tidak berlebihan kiranya bila bakteri dalam genus ini disebut sebagai salah satu bakteri terpenting (yang sudah diketahui tentunya) dalam kehidupan manusia.
Lactic acid bacteria termasuk bakteri gram positif fakultatif dan secara umum tidak berbahaya, bahkan dibutuhkan oleh manusia dan hewan. BAL banyak ditemukan di sekeliling kita, sebagai contoh, BAL banyak ditemukan di sekitar vagina dan di dalam usus halus. BAL sangat berperan dalam membantu proses pencernaan kita. Kalau anda ingat minuman kesehatan Yakult, BAL inilah yang juga berperan dalam aspek kesehatan dari minuman tersebut selain kandungan mineral dan nutrisi lainnya. BAL mampu memproses karbohidrat dalam susu yang disebut laktosa menjadi asam laktat. Mereka secara natural ada didalam susu (murni) dan secara luas digunakan sebagai kultur starter dalam produksi berbagai macam produk olahan fermentasi susu.

Bakteri Coliform, coliform adalah mikroorganisme yang berbentuk batang (rod) dan memiliki gram negatif. Coliform memiliki sifat fakultative anaerob. Artinya bakteri ini normalnya dalam pernafasan aerobik memproduksi ATP (Adenosine Triphosphate, sebuah monomer yang berfungsi sebagai media transportasi energi kimia antar sel dalam makhluk hidup) apabila dalam lingkungannya tersedia oksigen. Apabila oksigen tidak tersedia, organisme ini dapat berubah menjadi pemproduksi asam laktat dan alkohol atau yang dikenal dengan nama fermentasi.
Coliform aktif tumbuh pada suhu sekitar 37° C. Organisme ini dapat menyebabkan pembusukan yang cepat pada susu karena mampu melakukan fermentasi pada laktosa pada suhu sekitar 35° C dan sekaligus juga memproduksi asam dan gas. Selain itu mereka juga mampu mendegradasi protein pada susu.
Coliform adalah organisme indikator. Artinya, kehadiran organisme ini sering diasosiasikan dengan organisme patogen, tapi tidak berarti bahwa coliform ini dengan sendirinya adalah patogen. Kehadiran coliform merupakan indikator yang baik bahwa sesuatu itu telah terkena kontaminasi.
Coliform dapat dimatikan dengan proses yang disebut HTST (High Temperature, Short Time) pada 72°C selama 16 detik.
Escherichia coli (E-coli) merupakan salah satu anggota dari kelompok coliform dan dapat melakukan fermentasi gula susu (laktosa) pada suhu 44°C.

Mikroorganisme Perusak pada Susu
Kualitas mikrobial dalam susu segar sangat penting bagi penilaian dan produksi produk susu yang berkualitas. Susu dapat disebut telah rusak apabila terdapat gangguan dalam tekstur, warna, bau dan rasa pada kondisi dimana susu tersebut sudah tidak patut lagi dikonsumsi oleh manusia. Kerusakan yang disebabkan oleh mikroorganisme dalam makanan sering melibatkan degradasi dari zat zat nutrisi seperti protein, karbohidrat dan lemak, baik oleh mikroorganisme itu sendiri maupun enzim yang diproduksinya.
Secara umum pada susu mikroorganisme yang berperan dalam hal ini adalah organisme psikotrof. Meskipun kebanyakan dari kelompok ini dapat dihancurkan pada temperatur pasteurisasi, sayangnya, beberapa jenis sepertiPseudomonas fluorescens dan Pseudomonas fragi dapat memproduksi proteolitik dan lipolitik enzim yang stabil pada suhu tinggi dan dapat menyebabkan kerusakan.

Beberapa spesies dan keturunan dari BacillusClostridiumCornebacterium,ArthrobacterLactobacillusMicrobacteriumMicrococcus , danStreptococcus dapat bertahan pada temperatur pasteurisasi dan sekaligus mampu tumbuh pada suhu dalam ruang pendingin yang pada akhirnya dapat menyebabkan masalah kerusakan dan pembusukan pada bahan makanan terutama susu.
Mikroorganisme Patogen pada Susu
Beberapa bakteri patogen dalam susu segar dan produk susu yang masih menjadi perhatian saat ini antara lain:
Bacillus cereus
Listeria monocytogenes
Yersinia enterocolitica
Salmonella spp.
Escherichia coli O157:H7
Campylobacter jejuni

Perlu diungkapkan juga disini bahwa beberapa jenis jamur, kebanyakan dari spesies AspergillusFusarium, dan Penicillium dapat tumbuh dalam media susu dan produk susu lainnya. Apabila kondisinya memungkinkan, organisme ini dapat memproduksi zat mycotoxin yang dapat berbahaya bagi kesehatan.

SIFAT FISIK DAN KIMIA SUSU

SIFAT FISIKO-KIMIA SUSU
·         SIFAT KIMIA SUSU :

Potensial ion hydrogen (pH) susu segar terletak antara 6.5 – 6.7. Keasaman dan pH Susu : susu segar mempunyai sifat ampoter, artinya dapat bersifat asam dan basa sekaligus. Jika diberi kertas lakmus biru, maka warnanya akan menjadi merah, sebaliknya jika diberi kertas lakmus merah warnanya akan berubah menjadi biru. Bila nilai pH air susu lebih tinggi dari 6,7 biasanya diartikan terkena mastitis dan bila pH dibawah 6,5 menunjukkan adanya kolostrum ataupun pemburukan bakteri.

·         SIFAT FISIK AIR SUSU :
1. Warna air susu :
Warna air susu dapat berubah dari satu warna kewarna yang lain, tergantung dari bangsa ternak, jenis pakan, jumlah lemak, bahan padat dan bahan pembentuk warna. Warna air susu berkisar dari putih kebiruan hingga kuning keemasan. Warna putih dari susu merupakan hasil dispersi dari refleksi cahaya oleh globula lemak dan partikel koloidal dari casein dan calsium phosphat. Warna kuning adalah karena lemak dan caroten yang dapat larut. Bila lemak diambil dari susu maka susu akan menunjukkan warna kebiruan.
2. Rasa dan bau susu :
Kedua komponen ini erat sekali hubungannya dalam menentukan kualitas air susu. Air susu terasa sedikit manis, yang disebabkan oleh laktosa, sedangkan rasa asin berasal dari klorida, sitrat dan garam-garam mineral lainnya.
Bau air susu mudah berubah dari bau yang sedap menjadi bau yang tidak sedap. Bau ini dipengaruhi oleh sifat lemak air susu yang mudah menyerap bau disekitarnya. Demikian juga bahan pakan ternak sapi dapat merubah bau air susu.

3. Berat jenis air susu :

Air susu mempunyai berat jenis yang lebih besar daripada air. BJ air susu = 1.027-1.035 dengan rata-rata 1.031. Akan tetapi menurut codex susu, BJ air susu adalah 1.028. Codex susu adalah suatu daftar satuan yang harus dipenuhi air susu sebagai bahan makanan. Berat jenis harus ditetapkan 3 jam setelah air susu diperah. Penetapan lebih awal akan menunjukkan hasil BJ yang lebih kecil. Hal ini disebabkan oleh :
·         perubahan kondisi lemak
·         Adanya gas yang timbul didalam air susu


4. Kekentalan air susu (viskositas)

Seperti BJ maka viskositas air susu lebih tinggi daripada air. Viskositas air susu biasanya berkisar 1,5 – 2,0 cP. Pada suhu 20°C viskositas whey 1,2 cP, viskositas susu skim 1,5 cP dan susu segar 2,0 cP. Bahan padat dan lemak air susu mempengaruhi viskositas. Temperatur ikut juga menentukan viskositas air susu. Sifat ini sangat menguntungkan dalam pembuatan mentega.
      
         5. Titik beku dan titik cair dari air susu :

Pada codex air susu dicantumkan bahwa titik beku air susu adalah –0.5000 C. Akan tetapi untuk Indonesia telah berubah menjadi –0.5200 C. Titik beku air adalah 00 C. Apabila terdapat pemalsuan air susu dengan penambahan air, maka dengan mudah dapat dilakukan pengujian dengan uji penentuan titik beku. Karena campuran air susu dengan air akan memperlihatkan titik beku yang lebih besar dari air dan lebih kecil dari air susu. Titik didih air adalah 100°C dan air susu 100.16°C. Titik didih juga akan mengalami perubahan pada pemalsuan air susu dengan air.

       6. Daya cerna air susu :

     Air susu mengandung bahan/zat makanan yang secara totalitas dapat dicerna, diserap dan dimanfaatkan tubuh dengan sempurna atau 100%. Olehkarena itu air susu dinyatakan sangat baik sebagai bahan makanan. Tidak ada lagi bahan makanan baik dari hewani terlebih-lebih nabati yang sama daya cernanya denagn air susu.

Jumat, 19 Oktober 2012

TUGAS DAGING SUPER


TUGAS DAGING (*dengan peluh keringat<(˘̯˘")>)

PENGARUH TEMPERATUR DINGIN TERHADAP pH DAN BERAT HILANG DAGING
1.1 Latar Belakang.
Daging adalah jaringan otot ternak yang telah berubah secara biokimia setelah ternak disembelih dan merupakan bagian ternak yang dapat dikonsumsi. Pada umumnya daging mengandung sekitar 75% air, 18% protein, 3% lemak, 1,5% senyawa nitrogen bukan protein serta vitamin dan mineral dalam jumlah sedikit.oleh karena itu sebagai bahan makanan, daging mempunyai nilai gizi yang sangat tinggi terutama karena protein yang tersusun dari asam – asam amino yang lengkap. Kondisi komponen gizi yang cukup tinggi ini berakibat daging mudah mengalami kerusakan terutama oleh kerja mikroorganisme, walaupun tidak menutup kemungkinan terjadi perubahan – perubahan lainnya pada daging seperti perubahan akibat pengaruh fisiologi, fisik, atau kimiawi.
Pengolahan daging bertujuan untuk menambah keragaman pangan dan meningkatkan tambah dari daging, disamping itu juga untuk memenuhi kebutuhan akan permintaan pasar terkait dengan perubahab pola hidup masyarakat. Pengolahan daging juga bermanfaat bagi penggunaan berbagai bagian karkas maupun hasil samping daging serta memanfaatkan bahan bahan bukan daging untuk menghasilkan produk olahan dagingyang sesuai harapan. Sedangkan pengawetan daging bertujuan untuk memperpanjang masa simpannya, memungkinkan perluasan pemasaran termasuk transportasi dan distribusinya.
Pendingan daging adalah proses yang sangat penting untuk higine, keamanan daging, memperpanjang daya simpan, serta kenampakan dan kualitas daging setelah diolah dan saat dimakan. Pendinginan dapat menrunkan suhu permukaan daging dan dapat menyebabkan kekeringan pada permukaan daging lebih cepat, sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme.
1.2 Tujuan.
·         Mengetahui pengaruh temperatur rendah tertentu terhadap mutu dan berat massa yang hilang pada daging serta aspek lain yang terkandung.

1.3 Metode
Parameter yang diukur dalam penelitian yaitu pH, daya ikat air, warna daging, dan susutnya massa daging. Pemeriksaan dilakukan ketika pertama penimbangan, didinginkan selama 1 hari, temperatur yang digunakan 4oC. Perlakuan lainnya menggunakan temperatur yang sama tetapi pada 7 hari. Sedangkan untuk mengambilan sampel pH dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan temperatur. Khusus untuk susut bobot karkas diperoleh dari 3 macam pelayuan. Penghitungan dilakukan sebagai berikut :
Bobt karkas sebelum dilayukan (kg) dikurangi bobot karkas setelah dilayukan (kg) dibagi bobot karkas sebelum dilayukan (kg) dikalikan 100 persen.


Tinjauan Pustaka.
Daging yang dipasarkan di luar negeri pada umumnya telah mengalami pelayuan (aging) terlebih dahulu sehingga diperoleh mutu terbaik. Pelayuan daging bertujuan antara lain (1) agar proses pembentukan asam laktat dapat berlangsung sempurna, terjadi penurunan pH daging sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri; (2) pengeluaran darah secara lebih sempurna sehingga pertumbuhan bakteri terhambat, karena darah merupakan medium yang baik bagi pertumbuhan mikroba; (3) lapisan luar daging menjadi lebih kering, dan akan mencegah kontaminasi mikroba pembusuk; (4) memperoleh daging yang memiliki tingkat keempukan optimum serta cita rasa yang khas ( Sunarlim.2000 )
Terdapat empat faktor utama yang mempengaruhi kelembutan daging : lemak otot, pelayuan, kandungan pada pada jaringan ikat dan marbling. Kekerasan atau kelembutan adalah sesuatu yang sangat komplek. Dimana dibutuhkan pengetahuan betapa pentingnya fenomena perimortal dimana terjadi pada sebelum karkas mencapai suhu pendinginan. Perlakuan setelah sesaat postmortem akan mempengaruhi pH dan temperatur yang ada pada daging, termasuk juga pada kelembutan daging. ( Hanulla.2004 )
Fenomena “cold shortening” atau “cold induced toughening” telah dipelajar secara intensif mulai tahun 1960-an. Dan pengetahuan tersebut yang sangat terkemuka pada daging sapi dan domba, dan tidak terlalu banyak pada daing babi ataupun daging hasil unggas. Penelian menyebutkan bahwa karkas sapi seharusnya tidak didinginkan dibawah suhu 120C tidak lebih dari 15 jam, seperti pada saat sebelum selesainya proses rigor mortis. Dan sedangkan saran lainnya, teperatur seharusnya tidak dibawah 100C sebelum 10 jam. Sedangkan penelitian lainnya mengemukakan bahwa teperatur 7oC adalah batas atas dalam pendinginan daging. ( Hanulla.2004)
Susut bobot karkas diperoleh dar penimbangan bobot separuh karkas bagian kanan sebelum dan sesudah pelayuan. Bagian daging yang diuji mutunyaberasal dari bagian lulur (longissimus dorsi), kecuali pada pengukuran pH digunakan bagian paha domba.

Pembahasan.
Peningkatan velositas udara dan atau penurunan suhu dimana keduanya dapat dikendalikan akan juga menurunkan waktu pendinginan. Ukuran daging, bentuk karkas atau potongan daging sangat berpengaruh pada cara pengolahan daging dingin.
Perlakuan pada suhu 4oC selama sehari menyebabkan pH lebih rendah secara nyata dibandingkan dengan tanpa pelayuan. Tidak terdapat perbedaan warna daging oleh perlakuan pendinginan suhu 4oC, demikian pula daya ikat air dan susut masak. Daging segar akan mempunyai pH yang nyata lebih tinggi (6,37) dibandingkan dengan pH daging  layu (5,3). Daya mengikat air dan penyusutan daging antara perlakuan tidak berbeda nyata.
Rataan susut bobot yang dilakukan dengan 4oC rataan 2,90%, pelayuan daging pada suhu 4oC selama sehari menghaslkan pH 5,50. Sedangkan untuk penyusutan, susut bobot berpengaruh terhadap nilai ekonomis daging yang dipasarkan. Susut bobot pada suhu 4oC adalah sebesar 2,90%. Bla dibandingkan dengan keempukan daging ternyata karkas daging yang dilayukan pada suhu 4oC sangat empuk. Meskipun kehilangan susut bobot karkasnya terbanyak sehingga berkurang bobotnya, namun sebanding dengan mutunya yang relatif tinggi ( empuk ).
Sedangkan dari literatur lainnya menyebutkan bahwa, percobaan menggunakan suhu 5oC untuk daging dan menggunakan suhu 7oC dan dikelilingi air menghasilkan daging yang berkurang bobotnya 2% dan 1%.
Daya ikat air.
            Pengukuran daya ikat air (dma) dilakukan dengan cara basah yang dimodifikasi dari BENDALL dan PEDERSON (1962). Air yang tidak terserap daging diukur dengan tabung ukur.

 Susut masak.
            Yang dimaksud dengan susut masak ialah penyusutan daging yang telah dimasak dengan mentah ( belum dimasak ).

 Warna daging.
Warna daging diukur dengan menggunakan chromanometer tipe CR-200 milik PAU Pangan dan Gizi, IPB. Chromanometer dikalibrasi terlebih dahulu sesuai dengan warna yang paling mirip warna daging.
Keempukan.
Keempukan daging diukr dengan menggunakan alat Warner Bratzler Shear. Pemotongan dlakukan tegak lurusdan dihitung seberapa berat (kg) tekanan diperlakukan samapai daging dapat terpotong.
Susut bobot karkas
Khusus untuk susut bobot karkas diperoleh dari 3 macam pelayuan.

Hasil yang diperoleh perbedaan antara karkas domba berbeda jenis kelamin beserta interaksinya dan perlakuan pelayuan tidak berbeda (P<0,05) terhadap nilai pH daging, pada daging dengan pelayuan pada suhu kamar selama 12 jam (5,58) adalah nyata lebih rendah dibandingkan dengan tanpa pelayuan (6,16).
Perlakuan pelayuan pada suhu 4oC selama sehari menyebabkan pH lebih rendah 5,59 secara nyata (P<0,05) dibandingkan dengan tanpa pelayuan 6,51. Daging yang telah dilayukan pada suhu kamar selama 12 jam, pada suhu 4oC selama sehari dan seminggu ternyata menurun pHnya. Penelitan Drummond (2008) menympulkan bahwa penyimpanan daging sapi selama 48 jam pada suhu 2oC melaporkan bahwa pH daging dibungkus selama 24jam pada suhu menyimpanan 0 sampai dengan 30oC dapat menurunkan pH dari semula 6,84 menjadi 5,64. Penurunan pH juga terjadi selama pelayuan (1oC-48 jam) dari sekitar 7,0 menjadi sekitar 6,0 (Xiaoguang.2012)
Penurunan pH ini terjadi karena terhentinya aliran darah sehingga suplai oksegen juga terhendi dan tidak tersedianya oksigen untuk menangkap ion hidrogen yang dibebaskan dalam proses glikolisis dan siklus TCA ( tricarboxylic acid ). (Wang. 2000)
Kelebihan ion hidrogen mengubah asam piruvat menjadi asam laktat sehingga akumulasinya menyebabkan pH daging menurun. Menurut ( Muela. 2010)penurunan pH pada pelayuan suhu rendah ada kaitannya dengan turunya ATP dan glikogen.
                
DAFTAR PUSTAKA
SUNARLIM,ROSWITA dan HADI SETIYANTO. 2000. PELAYUAN PADA SUHU KAMAR DAN SUHU DINGIN TERHADAP MUTU DAGING DAN SUSUT BOBOT KARKAS DOMBA. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 6(1):51-58.

Drummond,Liana, Da-Wen Sun. 2008. Temperature evolution and mass losses during immersion vacuum cooling of cooked beef joints – A finite difference model. Meat Science 8; 885–891

Hannula,Tapio, Eero Puolanne.2004. The effect of cooling rate on beef tenderness: The significance of pH at 7 oC. Meat Science 67; 403–408

wang, Lijun, Da wen Sun. 2000. Modelling three conventional cooling processes of cooked meat by finite element method. Internasional Journal of Refrigerator 25; 100-110.

Muela,E. a, C. Sañudo a, M.M. Campo a, I. Medel b, J.A. Beltrán.2010. Effects of cooling temperature and hot carcass weight on the quality of lamb. Meat Science 84 (2010) 101–107

Xiaoguang Dong, Hui Chen, Yi Liu, Ruitong Dai, Xingmin Li.2012. Feasibility assessment of vacuum cooling followed by immersion vacuum cooling on
water-cooked pork. Meat Science 90 (2012) 199–203